Selasa, 29 November 2011

analisis wacana 2


Wacana:
“SAK  DUMUK BATHUK SAK NYARI BUMI DITOHI PATI”
Ketika kita memperingati Hari Agraria Nasional yang sekaligus Hari Tani setiap tanggal 24 september, arti pepatah lama sak dumuk bathuk sak nyari bumi ditohi pati masih relevan. Dua perkara besar yang pantas untuk diperjuangkan habis-habisan bahkan dengan mempertaruhkan nyawa bagi masyarakat jawa khususnya adalah kehormatan dan hak atas tanah. Dalam hal ini sak dumuk bathuk adalah kehormatan dan sak nyari bumi merupakan hak atas tanah. Dalam dunia pewayangan, dua hal esensial tersebut terungkap dalam lelakon “rebutan kikis tunggarana “ dan “babat alas Wanamartana”.
Hubungan petani dengan tanah memang tidak terpisahkan. Tanah merupakan ajang hidup bagi keluarga petani. Di atas sebidang tanah, keluarga petani tidak sekedar mengais rezeki, namun mengekspresikan dirinya secara total, baik secara jasmaniah maupun rohaniah. Dulu ketika tanah tersedia melimpah, setiap kebutuhan akan tanah bertambah seiring berkembangnya keluarga batih petani, diatasi dengan cara ekspansi statis yaitu membuka lahan baru secukupnya. Pada saat itu berlaku pandangan hidup bahwa kebutuhan hidup itu terbatas. Ketentraman hidup akan terwujud bila orang hidup secukupnya dengan memelihara kelestarian alam(J. H Boeke, Bhatara: 1974).
Kini zaman telah berubah, kebutuhan hidup menjadi seakan tanpa batas, masyarakat tidak lagi homogen, terdeferensiasi dalam berbagai kelompok dengan kepentingan masing-masing. Luas tanah yang relatif terbatas mengakibatkan konflik penguasaan dan pemilikan tanah semakin sering terjadi. Fakta menunjukkan mayoritas petani dari waktu ke waktu semakin sempit tanah yang digarapnya, demikian juga ketika berhadapan dengan pemilik modal maupun pemilik kekuasaan(pemerintah), petani selalu terkalahkan.
Sensus pertanian tahun 2003 memperlihatkan jumlah petani gurem yang menggarap tanah kurang dari 0,2 ha perkeluarga dan buruh tani yang tidak memiliki lahan meningkat 25,68% dalam kurun waktu 10 tahun. Pada tahun 1993 berjumlah 10,9 juta menjadi 13,7 juta orang pada tahun 2003. Data perhitungan BPS Maret 2011, jumlah petani dalam kategori tersebut telah mencapai sekitar 18,2 juta. Artinya, dalam waktu 8 tahun terakhir, laju miskin telah melampaui pertambahan atu dasawarsa sebelumnya, sebab dari tahun 2003 sampai 2011 pertambahan petani miskin menjadi 32,84%.
Semakin bertambahnya petani miskin serta penyempitan lahan yang mereka kuasai, menimbulkan gejolak ketidakpuasan, protes, dan perlawanan petani. Belum lama ini suku Anak Dalam Kabupaten Muara Jambi mengadu ke KOMNAS HAM Jakarta bahwa tanah Ulayat mereka seluas 5.100 ha digusur untuk perkebunan kelapa sawit tanpa kejelasan, sejak 1986. Tuntutan mereka sederhana yaitu mendapatkan penggantian atas hak dasar mereka. Bagi mereka tanah Ulayat merupakan ajang hidup.
Hal tersebut juga dialami masyarakat adat Ciptagelar, Kabupaten Sukabumi yang tinggal di Kawasan Gunung Gede Pangrango. Kawasan tersebut dijadikan Taman Nasional oleh pemerintah sehingga masyarakat Ciptagelar tidak bisa lagi menanami dan memanfaatkannya. Pelanggaran atas larangan tersebut bisa dikriinalkan. Konflik serupa banyak terjadi di seluruh wilayah Indonesia.
Apabila peristiwa serupa tidak cepat kita atasi, akan memicu terjadinya pergolakan sosial seperti yang terjadi di masa lalu, seperti peristiwa Tanjungmorawa di masa Orde Lama, Kedung Ombo dan Jenggawah di masa Orde Baru.
Sebenarnya, UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria secara tegas mengamanatkan pengaturan tata guna tanah. Tersurat dan tersirat secara kuat, UU tersebut menghendaki penataan pemanfaatan tanah secara bagi kepentingan dan kesejahteraan segenap lapisan masyarakat. Secara teknis UU tersebut belum memiliki perangkat aturan pelaksana sehingga belum dapat diterapkan. Disamping itu, UU tersebut lebih 30 tahun”terpetieskan” secara politis dengan stigma UU yang berbau paham komunis. Seiring dengan era baru saat ini, stigmasi tersebut perlu direhabilitasi.


Analisis wacana yang berjudul “Sak Dumuk Bathuk Sak Nyari Bumi Ditohi Pati” dari Aspek Gramatikal
A.    Pengacuan (referensi)
a.       Pengacuan persona
1.      Ketika kita memperingati Hari Agraria Nasional yang sekaligus Hari Tani setiap tanggal 24 september, arti pepatah lama sak dumuk bathuk sak nyari bumi ditohi pati masih relevan.
2.      Semakin bertambahnya petani miskin serta penyempitan lahan yang mereka kuasai, menimbulkan gejolak ketidakpuasan, protes, dan perlawanan petani.
3.      Belum lama ini suku Anak Dalam Kabupaten Muara Jambi mengadu ke KOMNAS HAM Jakarta bahwa tanah Ulayat mereka seluas 5.100 ha digusur untuk perkebunan kelapa sawit tanpa kejelasan, sejak 1986.
4.      Tuntutan mereka sederhana yaitu mendapatkan penggantian atas hak dasar mereka.
5.      Bagi mereka tanah Ulayat merupakan ajang hidup.
6.      Apabila peristiwa serupa tidak cepat kita atasi, akan memicu terjadinya pergolakan sosial.
v  Pada tuturan (1)pronomina persona  I jamak bentuk bebas kita yang mengacu pada unsur lain yang berada didalam tututran dan termasuk jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora bersifat kataforis. Sedang pada tuturan (6) persona I jamak bentuk bebas kita mengacu pada unsure lain dan termasuk jenis gramatikal pengacuan endofora anaforis. Pada tuturan (2),(3),(4),(5) pronomina persona III jamak bentuk bebas mereka yang mengacu pada unsur lain yang berada didalam tuturan.

b.      Pengacuan demonstratif
1.      Demonstratif waktu
a.       Dulu ketika tanah tersedia melimpah, setiap kebutuhan akan tanah bertambah seiring berkembangnya keluarga batih petani, diatasi dengan cara ekspansi statis yaitu membuka lahan baru secukupnya.
b.      Pada saat itu berlaku pandangan hidup  bahwa kebutuhan hidup itu terbatas.
c.       Kini zaman telah berubah, kebutuhan hidup menjadi seakan tanpa batas, masyarakat tidak lagi homogen, terdeferensiasi dalam berbagai kelompok dengan kepentingan masing-masing.
d.      Apabila peristiwa serupa tidak cepat kita atasi, akan muncul terjadinya pergolakan sosial seperti yang terjadi di masa lalu, seperti peristiwa Tanjungmorawa di masa Orde Lama, Kedung Ombo dan Jenggawah di masa Orde Baru.
v  Pada tuturan (a) terdapat pronominal demonstratif dulu yang mengacu pada masa lampau, yaitu ketika tanah tersedia melimpah. Sehingga termasuk jenis pengacuan endofora yang kataforis karena mengacu antesenden yang berada di sebelah kanan.sedang satuan lingual saat itu pada tuturan (b) mengacu pada masa lampau dan termasuk jenis pengacuan endofora kataforis. Kemudian pada tuturan (c) mengacu waktu kini dan termasuk jenis pengacuan endofora kataforis. Yang terakhir pada tuturan (d) mengacu masa lampau dengan jenis pengacuan endofora kataforis.

2.      Demonstratif tempat
a.       Hal tersebut juga dialami masyarakat adat Ciptagelar, Kabupaten Sukabumi yang tinggal di Kawasan Gunung Gede Pangrango.
b.      Belum lama ini suku Anak Dalam Kabupaten Muara Jambi mengadu ke KOMNAS HAM Jakarta bahwa tanah Ulayat mereka seluas 5.100 ha digusur untuk perkebunan kelapa sawit tanpa kejelasan, sejak 1986.
v  Tuturan (a) dan (b) pada kata Ciptagelar, Kabupaten Sukabumi, Kawasan Gunung ,Gede Pangrango. Muara Jambi, Jakarta mengacu sebuah nama tempat/kota.

c.       Pengacuan komparatif
1.      Belum lama ini suku Anak Dalam Kabupaten Muara Jambi mengadu ke KOMNAS HAM Jakarta bahwa tanah Ulayat mereka seluas 5.100 ha digusur untuk perkebunan kelapa sawit tanpa kejelasan, sejak 1986. Tuntutan mereka sederhana yaitu mendapatkan penggantian atas hak dasar mereka. Bagi mereka tanah Ulayat merupakan ajang hidup.
Hal tersebut juga dialami masyarakat adat Ciptagelar, Kabupaten Sukabumi yang tinggal di Kawasan Gunung Gede Pangrango. Kawasan tersebut dijadikan Taman Nasional oleh pemerintah sehingga masyarakat Ciptagelar tidak bisa lagi menanami dan memanfaatkannya.
v  Satuan lingual hal tersebut pada tuturan (1) adalah pengacuan komparatif yang berfungsi membandingkan tentang tanah ulayat yang digusur. Satuan lingual hal tersebut dapat diartikan/disubstitusi menjadi seperti.

B.     Penyulihan(substitusi)
a.       Substitusi Nominal (tidak ditemukan)
b.      Substitusi verbal (tidak ditemukan)
c.       Substitusi frasal
1.      Ketika kita memperingati Hari Agraria Nasional yang sekaligus Hari Tani setiap tanggal 24 september, arti pepatah lama sak dumuk bathuk sak nyari bumi ditohi pati masih relevan. Dua perkara besar yang pantas untuk diperjuangkan habis-habisan bahkan dengan mempertaruhkan nyawa bagi masyarakat jawa khususnya adalah kehormatan dan hak atas tanah.
2.      Dalam hal ini sak dumuk bathuk adalah kehormatan dan sak nyari bumi merupakan hak atas tanah. Dalam dunia pewayangan, dua hal esensial tersebut terungkap dalam lelakon “rebutan kikis tunggarana “ dan “babat alas Wanamartana”.
3.      Sebenarnya, UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria secara tegas mengamanatkan pengaturan tata guna tanah. Tersurat dan tersirat secara kuat, UU tersebut menghendaki penataan pemanfaatan tanah secara bagi kepentingan dan kesejahteraan segenap lapisan masyarakat. Secara teknis UU tersebut belum memiliki perangkat aturan pelaksana sehingga belum dapat diterapkan.
v  Pada tuturan (1) pada frasa Hari Agraria Nasional dan hari tani, pada kedua frasa tersebut disubstitusi dengan dua perkara besar. Kemudian pada tuturan (2) pada frasa sak dumuk bathuk  dan sak nyari bumi, pada kedua frasa itu disubstitusi dengan dua hal esensial. Kemudian pada tuturan (3) pada frasa UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria pada kalimat pertama, dan di kalimat kedua frasa UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria hanya disubstitusi dengan UU tersebut. begitu juga pada kalimat ketiga hanya mensubstitusi frasa UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria menjadi UU tersebut.
d.      Substitusi klausal

C.     Pelesapan(ellipsis)
1.      Ketika kita memperingati Hari Agraria Nasional yang sekaligus Hari Tani setiap tanggal 24 september, arti pepatah lama sak dumuk bathuk sak nyari bumi ditohi pati masih relevan.
2.      Sensus pertanian tahun 2003 memperlihatkan jumlah petani gurem yang menggarap tanah kurang dari 0,2 ha perkeluarga dan buruh tani yang tidak memiliki lahan meningkat 25,68% dalam kurun waktu 10 tahun.
v  Pada tuturan (1)Setiap tanggal 24 september, kita memperingati Hari Agraria Nasional, kita memperingati Hari Tani, kemudian kata memperingati mengalami pelesapan. Kemudian pada tuturan (2) jika ditulis lengkap berbunyi” sensus pertanian tahun 2003 memperlihatkan jumlah petani gurem yang menggarap tanah kurang dari 0,2 ha perkeluarga dan sensus pertanian tahun 2003 memperlihatkan  buruh tani yang tidak memiliki lahan meningkat 25,68% dalam kurun waktu 10 tahun. Sehingga cetakan tebal ini di lesapkan,hanya ditulis diawal kalimat.

D.    Perangkaian(konjungsi)
1.      Dua perkara besar yang pantas untuk diperjuangkan habis-habisan bahkan dengan mempertaruhkan nyawa bagi masyarakat jawa khususnya adalah kehormatan dan hak atas tanah.
2.      Dalam hal ini sak dumuk bathuk adalah kehormatan dan sak nyari bumi merupakan hak atas tanah. Dalam dunia pewayangan, dua hal esensial tersebut terungkap dalam lelakon “rebutan kikis tunggarana “ dan “babat alas Wanamartana”.
3.      Di atas sebidang tanah, keluarga petani tidak sekedar mengais rezeki, namun mengekspresikan dirinya secara total

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Comments List